Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dewasa ini telah ‘memaksa’ industri komunikasi untuk menggabungkan media konvensional dan teknologi komunikasi. Hal itu bisa dilihat dari media cetak besar di Indonesia yang memanfaatkan teknologi komunikasi dengan membuat portal berita online. Di dunia barat pun, pengelola media konvensional sudah ketakutan karena media elektronik (internet) sudah mengalahkan media cetak. Sampai-sampai di barat sana ada banyak koran yang mulai bangkrut. Bahkan ada yang memprediksi, bahwa berita media cetak mungkin suatu saat akan punah karena adanya berita media online yang lebih cepat mengakses informasi.
Apalagi sejak mewabahnya pengguna media sosial semacam facebook dan twitter. Tak hanya media online, pengguna media sosial juga berpacu meng-update konten akunnya. Pengguna media sosial seperti facebook dan twitter secara berulang dan berantai melakukan penyebaran berita hangat terkait prahara politik secara massif dan cepat. Demikian pula dengan blogger, dengan cepat mengutip atau sekedar meng-copy paste berita “panas” dari media online untuk menaikkan kunjungan ke “lapak” nya.
Sepertinya media sosial kini sudah menjadi media alternatif untuk menyebarkan berita. Tidak hanya itu, media sosial saat ini juga menjadi penyeimbang bagi media massa yang mendominasi isu pemberitaan yang muncul di masyarakat seperi TV, Koran, Majalah, Radio dan Tabloid. Media sosial mampu menjadi penyeimbang isu negatif bagi kelompok atau topik perbincangan yang santer di media konvensional. Seperti halnya, saat Metro TV beberapa waktu lalu menyiarkan berita bahwa “Rohis Sarang Teroris” maka muncul gerakan di dunia maya “1.000.000 Gerakan Tuntut Metro Tv Minta Maaf Kpd Rohis Se-Indonesia”. Kemudian dilanjutkan ke gerakan offline dengan digelarnya aksi simpatik ribuan aktivis Rohis se-Indonesia yang menuntut agar Metro TV minta maaf. Dari gerakan ini akhirnya mampu memaksa Metro TV minta maaf kepada Rohis (kerohanian Islam, eskul tingkat SMP dan SMA), karena Metro TV terbukti ceroboh dan tidak mampu membuktikan keakuratan data beritanya.
Kini, sebagian masyarakat khususnya daerah perkotaan yang melek internet dan mudah mendapat akses berita mulai paham, bahwa industri komunikasi di Indonesia saat ini dikuasai oleh pemimpin partai politik. Sebut saja Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem adalah pemilik Metro TV dan Media Indonesia beserta media onlinenya. Abu Rizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar adalah pemilik Viva Group (TV One, ANTV, dan vivanews.com). Sebagian masyarakat pun bersyukur saat Harry Tanoe, pemilik MNC Group mengundurkan diri dari Partai Nasdem, karena apa jadinya wajah media massa kita jika hampir semua media massa nasional dimonopoli oleh pimpinan partai politik. Apalagi menjelang Pemilu 2014, apakah media massa yang dikuasai pimpinan partai politik ini bisa adil dan obyektif dalam menyajikan berita, khususnya yang terkait dengan isu politik?
Jika monopoli kepemilikan ini berkembang subur di Indonesia dan suratkabar – suratkabar kuat berhasil mencapai status monopolistik dalam kegiatan bisnis mereka, akankah dunia pers kita kehilangan peranannya sebagai the fourth estate, pilar keempat, setelah tiga pilar lainnya dalam demokrasi yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif akhir – akhir ini tidak bisa diandalkan? Secara historis, apalagi relevansinya di era reformasi di Indonesia sekarang ini sangat besar, pers sebagai pilar keempat sangat diharapkan untuk dapat menyuarakan keinginan rakyat, yaitu keinginan untuk mencapai kehidupan demokratis yang sebenar – benarnya.
Obyektivitas Berita
Bisakah masyarakat percaya 100 persen terhadap konten berita yang disajikan media mainstream? Kemudian menelan mentah-mentah isi berita tersebut. Menurut saya, percaya 100 persen pada isi berita adalah sesuatu yang berlebihan. Karena awak media juga kumpulan manusia, bukan seperti malaikat yang jauh dari kesalahan dan nafsu. Jadi, dari sisi obyektivitas dan keakuratan berita memungkinkan ada celah kesalahan dalam karya jurnalistik.
Menurut Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik, Teori dan Praktek” mengatakan, bagi seorang wartawan, untuk menyusun sebuah laporan atau tulisan yang adil dan berimbang tidaklah sesulit memelihara obyektivitas. Yang dimaksud dengan sikap adil dan berimbang adalah bahwa seorang wartawan harus melaporkan apa yang sesungguhnya terjadi. Unsur adil dan berimbang dalam berita mungkin sama sulitnya untuk dicapai seperti juga keakuratan dalam menyajikan fakta.
Keakuratan sesuatu fakta tidak selalu menjamin keakuratan arti. Fakta-fakta yang akurat yang dipilih atau disusun secara longgar atau tidak adil sama menyesatkannya dengan kesalahan yang sama sekali palsu. Dengan menyisipkan fakta-fakta yang tidak relevan atau dengan menghilangkan fakta-fakta yang seharusnya ada di sana, pembaca mungkin mendapat kesan yang palsu.
Setidaknya ini yang penulis rasakan, ketika media – media mainstream memberitakan peristiwa yang berkaitan dengan Islam, Ormas Islam dan tokoh Islam terkesan tidak adil (menyudutkan, diskriminatif, dan tendensius) dalam menyajikan isi berita. Terkesan ummat Islam yang selalu dirugikan.
Misalnya, setiap ada berita penangkapan terduga teroris, kebanyakan yang menjadi sumber berita hanya dari pihak kepolisian dan Densus 88 atau pengamat yang sudah sefikroh dengan aparat polisi. Sehingga dalam berita selalu disebutkan para terduga teroris ditembak mati karena melawan atau membawa senjata. Padahal para terduga teroris ini belum dibuktikan di muka pengadilan, namun sudah keburu didor sama Densus 88.
Media juga begitu semangat untuk mem-blow up ‘wajah sangar’ FPI saat aksi sweeping kemaksiatan. Sehingga dikesankan FPI adalah organisasi anarkis. Tetapi apakah media mainstream mau memberitakan ‘wajah ramah’ FPI, semisal aksi peduli laskar FPI saat banjir Jakarta kemarin?.
Atau media sangat membela aliran – aliran sesat (Ahmadiyah, Syiah dll) saat ummat Islam marah atas penistaan agama yang dilakukan mereka. Media hanya mengulas aliran sesat ini sebagai pihak yang dizhalimi oleh mayoritas umat Islam. Tanpa berita berimbang mengapa ummat Islam marah terhadap kelompok aliran sesat tersebut.
Begitu juga yang terjadi beberapa pekan ini, sejak ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaq (LHI) oleh KPK tanggal 30 Januari 2012, trend perbincangan tentang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melonjak tajam. Ini hampir mendekati angka survei yang dilakukan oleh Win and Wise Communication yang menemukan bahwa percakapan tentang PKS oleh warga di sosial media mencapai angka 1700 percakapan/menit.
Seperti diketahui, ketika berita penangkapan LHI muncul isunya ikut ditangkap supir Mentan. Ternyata dibantah. Kemudian, yang mau disuap adalah anggota Komisi IV DPR dari PKS. Sekarang jadi LHI yang jelas-jelas bukan di Komisi IV tapi di Komisi I. Hingga sampai media seperti Okezone pun ikut melakukan ketidakobyektifan berita, bahwa LHI ditangkap oleh KPK bersama seorang wanita muda?
Membahas masalah berita tidaklah lengkap jika tidak membahas juga apa yang disebut berita sensasi. Kita sering mendengar orang berkata, “Ah, itu sih sensasi!” Memang, unsur jurnalistik yang paling dikenal orang, bahkan orang awam sekalipun, adalah unsur sensasi itu. Menurut Hikmat Kusumaningrat, perkataan sensasi yang berasal dari perkataan Inggris sensation, dari kata sense, sudah cukup menggambarkan apa yang disebut berita sensasi, yakni berita yang isinya, dan terutama cara mengemukakannya, terlalu didasarkan pada keinginan untuk menarik perhatian, membangkitkan perasaan, emosi. Jadi berita sensasi harus hebat, harus menimbulkan keheranan, ketakjuban, kengerian, pendeknya harus meluapkan berbagai macam perasaan.
Dengan demikian, berita sensasi sedikit sekali didasarkan pada nalar atau samasekali tidak didasarkan pada nalar yang sehat.
Penyeimbang Tirani Informasi
Lalu bagaimana untuk menyeimbangkan pemberitaan media mainstream yang terkadang tidak akurat 100 persen. Dan sering merugikan Ummat Islam?
Mengutip pernyataan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Atma Jayakarta, Alois A Nugroho yang dimuat di Harian Kompas Kamis (7/2/2013), di halaman dua, mengungkapkan bahwa untuk mengimbangi tirani informasi yang muncul menjelang dan selama pelaksanaan pemilu 2014, masyarakat diminta menggunakan media sosial sebagai alat penyebaran informasi pembanding.
Menurutnya, komunikasi lewat media sosial juga bisa menghimpun gerakan civil society dalam isu tertentu. Tapi harus diingat, gerakan melalui media sosial hanya bisa efektif jika diikuti dengan gerakan offline.
Pada akhirnya, semua parpol perlu melihat fenomena sosial yang ada di media sosial untuk berkaca diri dan mengatur strategi, tak semua kejadian buruk yang menimpa parpol akan serta merta menjatuhkan parpol itu dalam seketika.
Ya, prahara politik PKS bisa jadi bukti, bagaimana media sosial mengalami lalu lintas yang ramai oleh perbincangan politik yang membuat banyak orang bisa terbuka untuk membedah sisi PKS dari seluruh penjuru angin. Baik pengkritik maupun pendukung PKS di media sosial, terlihat secara massif mengirimkan pesan atau isu melalui media sosial, yang membuat PKS dan kasusnya menjadi topik terpopuler.***[cipto Abu hylmi].
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/28025/media-sosial-sebagai-penyeimbang-berita/#ixzz2LIEdmsJ3
0 komentar:
Post a Comment